Amfibi Web Search & Directory

Translate

Jumat, 29 Agustus 2008

PAK GUBERNUR vs RASKIN

Pak Gubernur
Wednesday, August 27, 2008
Oleh: Murad Maulana


Sudah hampir delapan tahun Mbah Wongso bergulat dengan keinginan untuk tetap hidup bersama istrinya. Ia hanya bisa membolak-balikan tubuhnya yang semakin mengecil, kurus berbalutkan tulang yang semakin menonjol dari hari ke hari. Wajahnya mencekung, bola matanya hampir keluar seperti orang kesurupan, kulitnya yang keriput tak pernah tersentuh dengan air, bahkan untuk sekedar mencuci mukannyapun enggan. Giginya yang dulu lengkap, kini telah tiada pergi meninggalkannya di telan masa yang tak pernah habisnya dan takan pernah kembali. Rambut hitam subur berubah menjadi putih bersih hampir habis, tepat di atas jidatnya. Bibirnya yang hitam akibat terlalu sering merokok di masa lalunya hanya bisa berkomat-kamit tanpa memuntahkan omongan sepatah katapun.



Setiap hari ia hanya memandang langit-langit rumahnya yang banyak bersarangkan laba-laba dan rayap-rayap nakal yang menggerogoti penyangga atap rumahnya. Pandangnya nanar tak berarti seolah tak bergairah lagi untuk menapaki hidup yang hanya diatas bale bambu berukuran 2 X 3 meter. Lantai rumahnya yang hitam pekat dan lembab selalu menjadi tempat favorit para cacing ketika musim hujan tiba. Dinding-dinding rumah yang terbuat dari pagar bambu hampir roboh, sedikit-sedikit mulai menjadi serbuk kuning menggunung. Engsel pintu beranyaman bambu yang rusak, sejak delapan tahun yang lalu, tak pernah ia perbaiki. Masalahnya bukanlah malas. Tapi karena Mbah Wongso memang tak mampu lagi untuk menjadi perkasa selain dari tak punya uang untuk membeli engselnya. Jangankan untuk membeli engsel, untuk makanpun Mbah Wongso masih senin, kamis.
Kasihan benar Mbah Wongso, di hari tua rentanaya hanya Mbok Darmi, istri yang dinikahi 70 tahun yang lalu dan bale bambu tua yang setia selalu menemaninya. Anak yang diharapkan selama tujuh puluh tahunpun, sayangnya tak pernah menghirup udara di kala pagi hari datang.

Sebagai seorang pedagang sayur keliling, penghasilan yang di dapatkan Mbok Darmi tidaklah cukup untuk membuang jauh-jauh keadaaan yang menimpa suaminya. Mbok Darmi hanya bisa berdo’a agar suaminya perkasa seperti sediakala, seperti delapan tahun yang lalu.

Bukannya tak ada usaha bagi Mbok Darmi untuk membuat perkasa suaminya lagi, semua dukun termasyhur di tetangga di desa sebelahnya tak luput dari kunjangan Mbok Darmi. Kang Rasman, Ki Warsa dan Wa Brojo yang terkenal ampuh dan sering membuat tersenyum bagi orang-orang yang membawa ke tempatnya, mulai lelah dan putus asa walaupun segala daya dan upaya telah dikerahkan, alhasil tetap tak mampu untuk mengabulkan permintaan Mbok Darmi. Wa Brojo-pun undur diri, berceloteh membohongi Mbok Darmi.

“Wah Mbok, Mbah Wongso ini ada yang sengaja bikin keadaannya seperti ini, mungkin orang-orang yang membencinya. Ilmunya lebih tinggi dari saya. Saya tidak kuat,” kata Wa Brojo ketika itu.
Mbok Darmi manggut-manggut, percaya saja dengan apa yang dikatakan Wa Brojo, dukun yang sudah melintang selama 30 tahun itu. Ada apa gerangan dengan keadaaan suaminya. Entahlah, Mbok Darmi seakan tak pernah tahu, hal apa yang menimpa pada suaminya.

Konon kabarnya, Mbah Wongso bisa seperti itu karena menebang pohon randu dibelakang rumahnya untuk kayu bakar tanpa mengadakan acara sesaji terlebih dahulu. Penunggu pohon randu itu marah karena menganggap Mbah Wongso sembrono seenaknya sendiri menebang tanpa ijin dan akhirnya penunggu pohon randu itu merasupi Mbah Wongso. Namun, para tetangga Mbok Darmi berkata lain. Hal itu hanyalah sebuah keadaan yang semua orang jika menginjak umur 65 ke atas akan mengalami seperti keadaan Mbah Wongso. Banyak desas-desus yang dialami Mbok Darmi Sebagai Istri Mbah Wongso, semuanya tak gubrisnya. Mbok Darmi hanya menganggap angin lalu.

***

Suatu hari ketika Mbok Darmi sedang menjajakan sayurannya ke sekolah-sekolah, ada salah satu ibu guru yang menyarankan untuk mencoba agar suaminya berobat ke rumah sakit. Akan tetapi, Mbok Darmi antipati. Menolak mentah-mentah dengan apa yang disarankan oleh Bu Lastri. Mbok Darmi menganggap berurusan dengan rumah sakit berarti ia harus menyediakan paling tidak satu peti uang seratus ribuan.
“Bu...bu boro-boro di bawa ke rumah sakit. Untuk makan saja, saya masih pas-pasan,” kata Mbok Darmi kala itu.
“Lho Mbok Darmi tidak tahu ya?Lha wong sekarang orang-orang kaya Mbok Darmi-kan gratis,” sahut Bu Lastri. Guru SD langganan pembeli sayuran Mbok Darmi.
“Mbok Darmi nanti coba langsung kerumah sakit ya?”, sambung Bu Lastri.
Mbok Darmi menganggukan kepalanya sembari melayani para guru yang membeli sayurannya.
Siang setelah selesai menjajakan sayurannya, Mbok Darmi duduk di sebelah Mbah Wongso. Ia mengambil segelas air putih lalu meminumnya. Terasa nikmat dan segar bagi Mbok Darmi setelah setengah hari bergumul dengan teriknya matahari bermandikan keringat dan bercampur debu-debu. Ia memandangi suaminya sejenak. Matanya berkaca-kaca hingga tak terasa meneteskan air mata. Terlintas dalam benaknya akan perkataan Bu Lastri. Kenapa tidak mencoba untuk membawanya ke rumah sakit. Mungkin saja benar dengan apa yang dikatakan Bu Lastri. Orang seperti Mbok Darmi akan memperoleh kemudahan atau bahkan gratis atau paling tidak sekedar mengetahui apa yang menimpa terhadap suaminya.
“Mbah kita pergi ke rumah sakit ya?,” tanya Mbok Darmi
“Kata Bu Lastri sekarang nggak bayar,” lanjut Mbok Darmi meyakinkan suaminya. Mata Mbah Wongso tetap terbelalak manakala mendengar omongan Mbok Darmi. Mulutnya tetap berkomat-kamit seperti biasa tak bisa memuntahkan omongan sepatah katapun. Tanpa pikir panjang Mbok Darmipun bangkit dan mulai bergegas meninggalkan gubug reot bersama tukang beca, membawa suaminya ke rumah sakit demi untuk kembalinya keperkasaan Mbah Wongso.

***


Malang nian nasib Mbok Darmi, dengan susah payah membawa suaminya, ternyata hanya tong kosong yang ia dapatkan. Sang administrator rumah sakit setempat berihwal kepada Mbok Darmi agar membawa kartu keterangan tidak mampu dari desa. Mbok Darmi bingung. Raut mukanya polos tak bergeming, mengiyakan dengan apa yang dikatakan sang administrator. Ia membayangkan berobat ke rumah sakit sama semudah seperti ketika ia mendatangi Wa Brojo. Ternyata tidak. Rumah sakit penuh dengan aturan yang harus dituruti dengan mengkesampingkan dunia empati atau paling tidak ada ruang untuk setitik simpati-pun, tak ada.

Mbok Darmi-pun ngloyor meninggalkan bangunan yang setiap orang tak menginginkan singgah di rumah banyak uang itu. Lantas tukang becak itu mengayuh becaknya membawa Mbah Wongso bersama Mbok Darmi tanpa membawa secercah harapan secuilpun.

Setiba di depan halaman gedung desain kolonial zaman Belanda, Mbok Darmi resah, gundah gulana, tapi tetap tenang terpaksa. Ia melihat kursi dan meja berjejer membentuk huruf U sepi tak bertuan. Ruang tamu, ruang pak lurah, dan semua ruang terkunci rapat. Bahkan ruang perpustakaan desa dan karang tarunapun yang biasa banyak berkumpul generasi tunas bangsa, tak ada satu orangpun yang menampakan batang hidungnya. Layaknya kuburan, sepi tak besemayam. Mbok Darmi tetap berdiri dengan bermacam-macam pikiran yang bergelayut di otaknya. Dimanakah pekerja-pekerja untuk para gurem ini. Apakah meraka telah pulang? Ah rasanya tidak mungkin karena matahari belum beranjak dari peraduannya. Atau barangkali ini hari libur? Ah tidak mungkin pula, karena biasanya hari liburpun tetap ada hansip yang menjaganya. Atau memang pak lurah sedang sakit? Wah rasa-rasanya, pak lurah sakitpun, harusnya pak RT hadir untuk mewakilinya. Begitulah Mbok Darmi meraba –raba pikirannya tentang apa yang sedang dilakukan oleh pekerja-pekerja untuk para gurem ini.

Mbok Darmipun Pulang. Ia kecewa tuk kedua kalinya. Di tengah perjalanan, tak sengaja mbok Darmi Melihat Pak Rustam, juru tulis desanya sedang mengendarai motor dengan roman muka agak beringas. Wajah mbok Darmi sumeringah ketika melihat wajah juru tulis desanya. Ada secuil harapan yang akan ia dapatkan, pikirnya.
“Pak Rustam, pak, pak….”, teriak Mbok Darmi kencang. Pak Rustam terhenyak dan menengok kearah Mbok Darmi. Mbok Darmipun turun dari beca, sambil sesekali berteriak. “tunggu, tunggu sebentar.” Lantas Mbok Darmipun berlari-lari seprti orang kesetanan mendekati Pak Rustam.
“Nah…..ke….beetul….an,” kata Mbok Darmi tergopoh –gopoh dengan napas tersengal-sengal dan kata –kata yang terbata.-bata.
“Kebetulan kenapa mbok?,” tanya Pak Rustam keheranan dengan raut wajah masam.
“Saya mau bikin surat keterangan tidak mampu untuk syarat pengobatan gratis di rumah sakit,” kata Mbok Darmi memberitahu.
“Bisa kan pak sekarang langsung jadi?,” pinta Mbok Darmi memelas.
“Waduh, ndak bisa sekarang mbok! Besok saja ya? Sekarang lagi sibuk! Lagi pula pak lurahnya juga sedang ada acara penting! Penting baget mbok!,” jawab Pak Rustam ketus.
“Sekarang saja, saya lagi di tunggu pak lurah mau ngambil berkas. Pokoknya besok saja ya mbok?”, lanjut Pak Rustam kemudian mulai menyalakan sepeda motornya dan meninggalkan mbok Darmi terburu-buru begitu saja. Sekali lagi Mbok Darmi hanya terdiam, raut wajahnya polos tak bergeming. Ia hanya bisa melihat pak Rustam semakin hilang dari matanya menjauhi dirinya. Kembalilah Mbok Darmi menuju suaminya yang tegolek tak berdaya diatas beca Mang Kodir.

***

Esok harinya, Mbok Darmi kembali ke kantor pak lurah. Baru beberapa kilometer berjalan menuju kantor pak lurah Mbok Darmi betemu dengan orang yang kebetulan lewat sehabis dari kantor pak lurah. Lagi –lagi Mbok Darmi harus menanggung kecewa karena orang yang tadi bertemu dengannya memberi tahu, bahwa di kantor pak lurah tak ada orang satupun. Katanya pak lurah beserta seluruh jajaran kantornya sedang menghadiri acara penting. Katanya pula acara penting yang dihadiri bukanlah sembarang acara yang boleh ditinggalkan. Mbok Darmipun pulang. Pasrah tak berdaya.

Lima belas menit berjalan, tiba –tiba Mbok Darmi dikejutkan dengan bunyi suara sirine meraung keras menusuk telinganya dibarengi rombongan konvoi besar-besaran di mulai dua motor gede dengan dua pengendaranya berperawakan besar seperti algojo, bertampang muka beringas tak pernah senyum dan berpakaian coklat lengkap dengan atributnya yang ia banggakan. Di susul kemudian mobil sedan berwarna putih bergariskan biru dan merah tepat diatasnya berhiaskan lampu biru yang menyala terang layaknya diskotik. Tak ketinggalan pula mobil-mobil berplat merah sangat mewah serta diakhiri dengan berbagai macam kendaraan dibelakangnya. Banyak sekali orang dalam rombongan konvoi itu. Muka orang-orang yang ada di rombongan konvoi itu tersenyum lebar tanpa beban. Di rombongan konvoi paling akhir, Mbok Darmi melihat pak lurah sedang tertawa lepas penuh harap akan mendapatkan penghargaan dari kedatangan yang mulia pak gubernur.

Sementara Mbah Wongso meregang nyawa sendiri di gubug reot. Tak ada yang tahu. Mbok Darmipun tidak***




Indramayu, Februari 2007